Monday, December 16, 2019

Kisah Zendeling N.Ph. Wilken di Tomohon, dari Menunggang Kuda hingga Gempa




Jauh dari negeri Belanda, zendeling Nicolaus Philipp Wilken datang ke Tanah Minahasa, dari Tomohon melayani dengan menunggang kuda dan menyaksikan kengerian gempa bumi.


TOMOHON, 1855. Hari Natal, 25 Desember tahun ini jatuh pada hari Selasa. Ini hari yang sungguh berat bagi Nicolaus Philipp Wilken, zendeling Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang ditempatkan di Tomohon.

Wilken lahir di Aurich di East Friesland, Belanda pada 10 Mei 1813. Ia ditahbiskan sebagai zendeling pada tahun 1840. Ketika singgah di Ambon dalam perjalanan menuju ke Minahasa, ia menikah dengan Maria Elizabeth Hoedt.

Ia datang ke Tomohon untuk bekerja sebagai zendeling pada tahun 1842. Setelah bertugas di Manado dan Tanawangko, Februari 1843 ia ditempatkan di Tomohon.

Dua puluh tahun sebelum Wilken dan FH Linemann tiba di Minahassa, zendeling  L. Lammers dan D. Muller, telah lebih dulu datang ke sini. Ketika misionaris Muller meninggal pada tahun 1826, G. J. Hellendoorn menggantikannya. 

Pada tahun 1831 datang dua zendeling,  J.F. Riedel dan J.G. Schwarz.  Bersamaan dengan Wilken, zendeling lain yang datang adalah CP Hermann. 

Pagi hari di bulan Desember tahun 1855 itu, di rumah gereja Tomohon Wilken melayani ibadah Natal. Siang harinya ia pergi ke Tanawangko. Pada malam hari ia pergi ke Manado.

Tanggal 26 Desember ia melayani perjamuan kudus di gereja Manado. Tanggal 27 ia kembali ke Tomohon.  

Sebuah perjalanan yang pasti melelahkan. Semua dilakukannya dengan menunggang kuda.

Demikian dicatat oleh Jonkvr. H. B. de la Bassecour Caan dalam N. Ph. Wilken, Eene Bladzijde uit de geschiedenis van de Minahassa (terbit 1911).

Wilken mengalami hari-hari berat di Minahasa. Februari tahun 1845 terjadi gempa hebat. Tomohon dan Tanawangko terkena dampak gempa yang dahsyat itu.

Sebanyak 45 rumah roboh di Tomohon. Satu rumah besar dihuni sekitar 10 anggota keluarga. Sebanyak 200 rumah di Tanawangko juga ambruk. “Sekitar 700 keluarga kehilangan tempat tinggal,” tulis Bassecour Caan mengutip catatan Wilken.

Di sepanjang abad 19, kuda sangat berarti bagi setiap zendeling dan penolong. Kuda adalah satu-satunya hewan yang memiliki jasa menemani para missionaris ini berkeliling untuk mengunjungi jemaat-jemaatnya.  

Wilken memelihara tiga sampai empat ekor kuda. Ia juga memiliki beberapa ekor babi dan sapi.  Hewan-hewan ini diberi makan rumput.

Banyak hal harus dilakukan sendiri oleh Wilken, istrinya Maria Elizabeth Hoedt, dan anak-anaknya. Pada tahun 1843, keluarga ini memperbaiki sendiri rumah mereka. Ini dilakukannya, karena seperti dicatat Bassecour Caan, pertama, Wilken “tidak ingin mengeluarkan biaya apa pun dari Lembaga Misionaris, karena perbaikan itu akan menelan biaya sekitar NLG 200, kedua untuk melatih anak-anak lelakinya dalam pekerjaan kasar dan, ketiga, untuk memberi penduduk pribumi contoh kerja."

“Banyak penduduk pribumi membayangkan bahwa orang kulit putih tidak pernah bekerja, bahkan di Eropa. Namun, sekarang, tidak hanya 20 hingga 30 orang yang melihat saya bekerja, tetapi ribuan, karena hampir seluruh Minahassa harus melewati Tomohon jika mereka ingin pergi ke Menado,” kata Wilken seperti dikutip Bassecour Caan. 

Upaya Wilken ini bagian dari misinya untuk membuat orang-orang Kristen di Tomohon memiliki kemandirian. Tahun 1877, ketika NZG mengalami masalah keuangan untuk membiayai pekabaran Injil, Wilken menulis surat kepada lembaga yang berpusat di Rotterdam ini: "Sekarang, setelah lebih dari lima puluh tahun, sulit untuk meyakinkan jemaat-jemaat kebenaran bahwa mereka berkewajiban untuk mengurus diri mereka sendiri

Rutinitas Wilken, selain memimpin ibadah di gereja, melayani katekisasi, juga mengunjungi rumah orang-orang Kristen. Pada pagi di hari Minggu ia berkhotbah di gereja. Lalu pada sore hari ia melakukan kunjungan ke rumah-rumah. Biasanya, pada hari Minggu pagi hingga siang ia berada di Tomohon, Tataaran dan Sarongsong.

Sore itu saya mengunjungi 12-15 rumah di Tomohon, 10-12 rumah di Tataaran dan Sarongsong, biasanya masing-masing rumah dengan 2 atau 8 keluarga. Ini bukan tugas yang mudah di tahun-tahun saya, terutama memanjat tangga-tangga, tetapi orang-orang terbiasa dengan segala sesuatu, termasuk memanjat tangga,” tulis Wilken.

Di saat mengunjungi rumah-rumah, Wilken menjalin keakraban dengan orang-orang. Dia akrab dengan anak-anak sehingga para ibu senang setiap mendapat kunjungan.

Para ibu senang melihat saya membawa anak-anak mereka di pangkuan saya dan membelai mereka,” kata Wilken.

Selama menjadi zendeling di Tomohon dan Minahasa pada umumnya, Wilken dan istrinya telah memberikan kehidupan mereka seutuhanya untuk pekabaran Injil. Lima orang anak mereka meninggal di masa mereka melayani.

Anak-anak mereka yang hidup, salah satunya George Alexander Wilken, profesor di Universitas Leiden di bidang ilmu bahasa, geografi, dan etnologi di Hindia Belanda. Seorang anak perempuan Wilken adalah istri zendeling Hendricus Johannes Tendeloo.

Selama 30 tahun melayani di Tomohon, Wilken telah mendirikan 20 jemaat dan membaptis lebih dari 10.000 orang. Pada tahun 1874 jemaatnya mengambil langkah besar menjadi jemaat yang mandiri. Karena pada saat itu anggota jemaat memperoleh hak untuk diangkat sebagai diaken dan penatua. 

Pada tanggal 22 Februari 1878, di usia 65 tahun Wilken wafat. Istrinya meninggal tahun berikut. Ia dan istrinya dimakamkan di Tomohon.(*)



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui:  
dpinontoan6@gmail.com
 Denni Pinontoan

 082187097616

Makase banyak.

No comments :

Post a Comment