Jauh dari negeri
Belanda, zendeling Nicolaus Philipp
Wilken datang ke Tanah Minahasa, dari Tomohon melayani dengan menunggang kuda dan
menyaksikan kengerian gempa bumi.
TOMOHON, 1855. Hari Natal, 25 Desember tahun ini jatuh
pada hari Selasa. Ini hari yang sungguh berat bagi Nicolaus Philipp
Wilken, zendeling Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang ditempatkan di Tomohon.
Wilken lahir di Aurich di East Friesland, Belanda pada 10 Mei 1813. Ia ditahbiskan sebagai zendeling pada tahun
1840. Ketika singgah di Ambon dalam perjalanan menuju ke Minahasa, ia menikah
dengan Maria Elizabeth Hoedt.
Ia datang ke Tomohon untuk bekerja sebagai
zendeling pada tahun 1842. Setelah bertugas di Manado dan Tanawangko, Februari 1843
ia ditempatkan di Tomohon.
Dua puluh tahun sebelum Wilken dan FH
Linemann tiba di Minahassa, zendeling L. Lammers dan D. Muller, telah lebih dulu datang ke sini. Ketika misionaris
Muller meninggal pada tahun 1826, G. J. Hellendoorn menggantikannya.
Pada tahun 1831 datang dua zendeling, J.F. Riedel dan J.G. Schwarz. Bersamaan dengan
Wilken, zendeling lain yang datang adalah CP Hermann.
Pagi hari di bulan Desember tahun 1855 itu,
di rumah gereja Tomohon Wilken melayani ibadah Natal. Siang harinya ia pergi ke
Tanawangko. Pada malam hari ia pergi ke Manado.
Tanggal 26 Desember ia melayani perjamuan
kudus di gereja Manado. Tanggal 27 ia kembali ke Tomohon.
Sebuah perjalanan yang pasti melelahkan.
Semua dilakukannya dengan menunggang kuda.
Demikian dicatat oleh Jonkvr. H. B. de la
Bassecour Caan dalam N. Ph. Wilken, Eene
Bladzijde uit de geschiedenis van de Minahassa (terbit 1911).
Wilken mengalami hari-hari berat di Minahasa.
Februari tahun 1845 terjadi gempa hebat. Tomohon dan Tanawangko terkena dampak
gempa yang dahsyat itu.
Sebanyak 45 rumah roboh di Tomohon. Satu rumah besar dihuni sekitar 10 anggota
keluarga. Sebanyak 200 rumah di Tanawangko juga ambruk. “Sekitar 700 keluarga
kehilangan tempat tinggal,” tulis Bassecour
Caan mengutip catatan Wilken.
Di sepanjang abad 19, kuda sangat berarti
bagi setiap zendeling dan penolong. Kuda
adalah satu-satunya hewan yang memiliki jasa menemani para missionaris ini
berkeliling untuk mengunjungi jemaat-jemaatnya.
Wilken memelihara tiga sampai empat ekor kuda. Ia juga memiliki beberapa ekor babi dan
sapi. Hewan-hewan ini diberi makan
rumput.
Banyak hal harus dilakukan sendiri oleh
Wilken, istrinya Maria Elizabeth Hoedt, dan anak-anaknya. Pada tahun 1843, keluarga ini memperbaiki sendiri rumah
mereka. Ini dilakukannya, karena seperti dicatat Bassecour Caan, pertama,
Wilken “tidak ingin mengeluarkan biaya apa pun dari Lembaga Misionaris, karena perbaikan itu akan menelan biaya
sekitar NLG 200, kedua untuk melatih anak-anak lelakinya dalam pekerjaan
kasar dan, ketiga, untuk memberi penduduk pribumi contoh kerja."
“Banyak penduduk pribumi membayangkan bahwa orang
kulit putih tidak pernah bekerja, bahkan di Eropa. Namun, sekarang, tidak hanya
20 hingga 30 orang yang melihat saya bekerja, tetapi ribuan, karena hampir
seluruh Minahassa harus melewati Tomohon jika mereka ingin pergi ke Menado,”
kata Wilken seperti dikutip Bassecour Caan.
Upaya Wilken ini bagian dari misinya untuk
membuat orang-orang Kristen di Tomohon memiliki kemandirian. Tahun 1877, ketika
NZG mengalami masalah keuangan untuk membiayai pekabaran Injil, Wilken menulis
surat kepada lembaga yang berpusat di Rotterdam ini: "Sekarang,
setelah lebih dari lima puluh tahun, sulit untuk meyakinkan jemaat-jemaat
kebenaran bahwa mereka berkewajiban untuk mengurus diri mereka sendiri”
Rutinitas Wilken, selain memimpin ibadah di
gereja, melayani katekisasi, juga mengunjungi rumah orang-orang Kristen. Pada pagi
di hari Minggu ia berkhotbah di gereja. Lalu pada sore hari ia melakukan kunjungan
ke rumah-rumah. Biasanya, pada hari Minggu pagi hingga
siang ia berada di Tomohon, Tataaran dan Sarongsong.
“Sore itu saya mengunjungi 12-15 rumah
di Tomohon, 10-12 rumah di Tataaran dan Sarongsong, biasanya
masing-masing rumah dengan 2 atau 8 keluarga. Ini bukan tugas yang mudah
di tahun-tahun saya, terutama memanjat tangga-tangga, tetapi orang-orang terbiasa dengan segala sesuatu, termasuk
memanjat tangga,” tulis Wilken.
Di saat mengunjungi rumah-rumah, Wilken
menjalin keakraban dengan orang-orang. Dia akrab dengan anak-anak sehingga para
ibu senang setiap mendapat kunjungan.
“Para ibu senang melihat saya membawa anak-anak mereka di
pangkuan saya dan membelai mereka,” kata Wilken.
Selama menjadi zendeling di Tomohon dan
Minahasa pada umumnya, Wilken dan istrinya telah memberikan kehidupan mereka
seutuhanya untuk pekabaran Injil. Lima orang anak mereka meninggal di masa
mereka melayani.
Anak-anak mereka yang hidup, salah satunya George
Alexander Wilken, profesor di Universitas Leiden di bidang ilmu bahasa,
geografi, dan etnologi di Hindia Belanda. Seorang anak perempuan Wilken adalah
istri zendeling Hendricus Johannes Tendeloo.
Selama 30 tahun melayani di Tomohon, Wilken telah mendirikan 20 jemaat dan membaptis lebih dari 10.000 orang. Pada tahun 1874 jemaatnya
mengambil langkah besar menjadi jemaat
yang mandiri. Karena pada saat itu anggota jemaat memperoleh hak untuk diangkat sebagai diaken dan penatua.
Pada tanggal 22 Februari 1878, di usia 65 tahun Wilken wafat. Istrinya
meninggal tahun berikut. Ia dan istrinya dimakamkan di Tomohon.(*)
_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui:
Makase banyak.
No comments :
Post a Comment