Monday, December 9, 2019

Wilson Katepu Kansil, Anak Bangsawan yang Memilih Menjadi Pendeta



 
Wilson Katepu Kansil (kanan berdiri samping ayahnya) dan keluarganya. (Sumber)



Wilson Katepu Kansil lahir dari keluarga bangsawaan di Tagulandang, tapi memilih menjadi pendeta hingga melayani di Belanda



WILSON Katepu Kansil berasal dari keturunan bangsawan di Tagulandang, tapi ia memilih menjadi pendeta daripada sebagai elit kerajaan. Melewati masa perang, lalu ke Belanda dan menjadi pendeta di sana. Dialah orang pertama dari Utara Celebes yang menjadi pendeta di negeri asal lembaga zending yang telah mengutus para zendelingnya untuk mengkristenkan kaumnya.

H. de Vries pada artikelnya berjudul “Ds. W. K. Kansil, een oosterse predikant in eenHollandse kerk” (terbit cetak pertama tahun 25 november 1987)  yang termuat di situs Digibron.nl menulis, Wilson Kansil dilahirkan sebagai putra keluarga bangsawan di Tagulandang, salah satu daerah kepulauan di Utara Celebes, Hindia Belanda.

Sumber yang memuat silsilah keluarga Kansil  menguraikan, Wilson adalah anak ketiga dari Oldenbarneveld Dulag Kansil (Sangihe) dengan istrinya Sophie Catterine Sarapil, putri  David PJ Sarapil ex Raja Tabukan, Kepulauan Sangihe.

Oldenbarneveld Dulag Kansil adalah anak sulung dari Timotheus Sasapoe Doelag Kansil yang lahir pada tahun 1883 di Siau. Istri Timotheus adalah Bertjie Lalenoh Jacobs, cucu Raja Jacobs 'ex Raja Tagulandang.

Wilson kecil bersekolah di Hollands-Inlandse School, sekolah dasar untuk pribumi. Lalu melanjutkan di sekolah Katolik. Di sekolah ini ia terkesima dengan kesalehan teman-teman sekolahnya yang Katolik.

Memperhatikan kedekatannya dengan Katolik, keluarganya menjadi khawatir Wilson pindah ke agama itu. Kira-kira jelang akhir tahun 1930an ia lalu pindah ke MULO dan banyak bertemu dengan guru-guru Protestan di sana.

Semua pengalaman itu telah menginspirasi dia untuk kelak menjadi pendeta. "Setiap orang yang bertemu saya berkata”, ‘Kamu masih mau menjadi pendeta’”?, kata Wilson seperti dikutip de Vries.   

Direktur MULO menasehatinya untuk mendaftar di Hoogere Theologische School (HTS) di Buitenzorg atau Bogor. Sekolah ini berdiri pada 9 Agustus 1934. Di masa pendudukan Jepang sekolah ini sempat ditutup. Tahun 1946 dibuka lagi dan mulai dipikirkan untuk dikembangkan lebih luas. Pada pada 27 September 1954 namanya diubah menjadi Sekolah Tinggi Theologia (STT) dan kampusnya dipindahkan ke Jakarta. 

Wilson tertarik dengan usulan direktur MULO itu sebab itu sejalan dengan cita-citanya sejak awal. Tapi, keluarga menolak keinginannya itu. 

Keluarganya berpendapat, Pendeta itu bukan siapa-siapa, dibandingkan dengan kedudukannya sebagai anak dari keluarga bangsawan. Tapi rupanya Wilson telah berketetapan hati untuk menjadi pendeta. Ia menulis surat kepada keluarganya di Tagulandang dengan antara lain mengatakan, “Saya tahu Tuhan memanggil saya.”

________________________________________________
BACA JUGA:





________________________________________________

Wilson akhirnya mengikuti nasehat direktur MULO dan tentu kata hatinya. Ia pun mendaftar di  HTS Bogor (Buitenzorg). Pendaftar seluruhnya berjumlah tiga puluh, tapi yang diterima hanya lima orang. Salah satunya adalah Wilson.  

Wilson menyelesaikan pendidikannya di HTS tahun 1940. Pada Minggu, 15 September 1940 pagi, Wilson Kansil bersama 9 teman lainnya ditahbiskan menjadi pendeta. Ibadah penahbisan dilakukan di Gereja Portugis, Batavia. Pemimpin ibadah adalah Ketua Dewan Gereja, Pdt. B. Keers.

“WN Hübner, C.C. Kainama, W.K. Kansil, S.J. Kriekhoff, A Likumahuwa, S. Marantika, D.D. Ngefak, W.J. Rumambi, C.I. Sahusilawane dan R.H. Luntungan” demikian Surat kabar Bataviaasch Nieuwsbla edisi 16-09-1940 memberitakan nama-nama yang ditahbis.

Surat kabar itu menjelaskan, nama-nama itu ditahbis sebagai pendeta Protestan di Hindia Belanda (Protestantsche Kerk in Nedelandsch-Indie).

Dua hari setelah penahbisan itu, tulis de Vries, Pdt. Kansil  ditanya apakah siap untuk melakukan pekerjaan misionaris di Sulawesi tengah yang berbasis di Luwuk.

“Saya mengatakan bahwa saya dipanggil oleh Tuhan dan karena itu bersedia pergi ke tempat di mana Dia mengutus saya,” kata Wilson.

Menikah dengan Perempuan Minahasa
Wilson di masa muda sangat sulit bergaul dengan perempuan karena dibatasi oleh aturan keluarganya. Keluarganya yang bangsawan memberi syarat bahwa ia harus memilih calon istri dari kalangan bangsawan. Bahkan, pernah ia disodorkan dua nama calon istri pilihan keluarganya. Wilson diminta untuk memilih salah satu dari mereka. Keduanya masih saudara dekat.  

Wilson menolak pilihan keluarganya. Ia punya alasan.

“Kami tidak pernah berhubungan satu sama lain. Saya juga takut menikahi keluarga karena perkawinan sedarah," katanya seperti dikutip de Vries.  

Wilson Katepu Kansil, putra dari Tagulandang kini telah menjadi pendeta. Namun, dia tidak langsung bertugas di wilayah pelayanan. Pdt. Kansil meminta waktu 1 bulan untuk menunda penugasan itu. Dia rupanya telah berencana untuk menikah.

Tahun itu juga ia menikah dengan seorang perempuan Minahasa dari keluarga mayor di daerah ini. Istrinya bernama Barnetje Frederika Elisabet Ruata (lahir 22 Februari 1913). Pdt. Kansil bertemu dengan Barnetje ketika ia magang di Manado sebelum ditahbiskan menjadi pendeta.

Bernetje dapat diterima oleh keluarga Kansil karena ia anak dari keluarga elit di Manado.  Ayah Bernetje adalah Peter Frederick Ruata, mantan hukum besar Ratahan dan Manado. Ibunya, seperti termuat pada iklan keluarga pada surat kabar Java-Bode  07-12-1955 bermarga Walangitang. Iklan itu tentang berita duka kematian ibunya.

Bernetje mungkin adalah perempuan satu-satunya yang dekat dan langsung dapat memikat hati Wilson. Karena oleh aturan keluarganya, ia tidak sembarangan bergaul dengan perempuan.

“Apakah Anda ingin menjadi istri saya, ya atau tidak? Jika Anda ingin menjadi istri saya, kita akan bertunangan dalam dua minggu lagi. Jika Anda tidak ingin, Anda tidak akan melihat saya lagi,” kata Wilson kepada Bernetje suatu hari seperti dikutip de Vries.   

Menjadi Pendeta di Masa Perang,  Lalu ke Belanda
Setelah menikah, Pdt. Kansil kemudian menjadi pendeta di Sulawesi Tengah. Ini situasi yang sangat sulit. Perang. Jepang datang menjajah Indonesia tahun 1942, dan semua orang Belanda, Eropa pada umumnya, atau yang dianggap pro Belanda ditangkap oleh Jepang.

Pdt. Kansil tak terkecuali. Suatu hari di Palu, ia bersama empat tokoh lainnya, dipanggil untuk menghadap seorang pegawai negeri Jepang di Donggala. Mereka dipanggil untuk diinterogasi.

“Yang aneh adalah bahwa semua pertanyaan ditujukan kepada saya. Apakah Anda seorang pendeta? Ya Apakah Anda pro-Belanda? Saya diam. Anda tinggal di rumah Belanda, jadi Anda pro-Belanda,” kata Pdt. Kansil mengingat percakapan waktu itu.

Mendengar jawaban itu, si pegawai yang melakukan interograsi marah. “Aku akan mengirimmu ke Menado.... Anda akan dipenggal,” kata si pegawai itu.

Pdt. Kansil dan istrinya diusir dari rumah tempat tinggal mereka yang oleh Jepang dianggap karena bangunan itu peninggalan Belanda maka penghuninya adalah juga pro Belanda. Tapi, syukur vonis itu tidak jadi.

Jepang menyerah pada sekutu Agustus tahun 1945. Pdt. Kansil lalu ditunjuk menjadi pendeta di Menado-Maumbi dan penasihat spiritual jemaat Belanda di Menado.

Pada tanggal 14 Februari tahun 1946 pecah sebuah pemberontakan di Manado. Pemuda dan para eks tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) asal Minahasa memberontak melawan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Mereka merebut tangsi Teling, menahan para petinggi NICA dan mengibarkan bendera Merah Putih mengganti bendera Belanda.

Pdt. Kansil berada dalam dilema. Pada satu pihak pemberontakan itu adalah perjuangan kaumnya di Sulawesi Utara, namun pada pihak lain ia adalah pendeta Indische Kerk, gereja kolonial Belanda.

“Saya tidak percaya dari kedua belah pihak. Anda berada di mana? Tentu saja saya memiliki pandangan politik saya. Tetapi sebagai pendeta gereja, Anda tidak dapat membuat perbedaan. Anda harus menerima konsekuensi dari itu," kata Pdt. Kansil mengisahkan posisinya di masa itu.

Pendeta Kansil, baik dalam posisinya sebagai pejabat gereja dan sekaligus pendeta, dengan tegas mengutuk para penjahat perang. Ia juga menawarkan bantuan rohani kepada mereka yang terlibat perang.  

Tahun 1949, Wilson Kansil diangkat sebagai ‘pendeta tentara’ (veldprediker) atau dalam bahasa Melayu masa itu disebut pandita soldadu. Ia melayani tentara-tentara Belanda. Setelah pengalihan kekuasaan, ia bersama tentara KNIL Belanda ditangkap oleh tentara Indonesia. Tapi tidak berapa lama kemudian ia dibebaskan.

Tanggal 25 Oktober 1950 ia berangkat ke Belanda dengan kapal “Empire Brent”. Di Belanda, terutama di Utrecht ia mengalami situasi yang berbeda dengan di negeri asalnya. Di sini ia adalah seorang pendeta jemaat, sementara di sana ia bukan siapa-siapa.

Makam Suami-istri Wilson dan Barnetje
“Saya hampir tidak menemukan diri saya di Belanda,” kata Pdt. Kansil ketika berbicara pada sebuah seminar yang dilaksanakan oleh Asosiasi Guru-guru Kristen di Belanda, seperti dikutip dari Nieuwe Leidsche Courant edisi 11 oktober 1954.

Di Belanda, untuk menjadi pendeta jemaat ia mesti mengikuti lagi proses menurut aturan di sana. Di Tagulandang, ia adalah anak bangsawan yang memiliki keistimewaan, namun itu ternyata berbeda ketika dia berada di Belanda sebagai seorang pendeta dari Hindia Belanda.

Tapi ia akhirnya diterima sebagai pendeta di  Gereja Reformasi Belanda (Nederlands Hervormd Kerk).  Ia melayani di jemaat Soesterberg, sebuah kota di Utrecht.  Lalu di Tull en 't Waal. Kemudian sejak 27 Mei 1962 ia menjadi pendeta di Wanswerd, sebuah desa di Noardeast-Fryslân, Friesland. Juga di Oranjewoud, sebuah desa kecil Heerenveen, Friesland. Dan di IJzendoorn, sebuah desa di Gelderland. 

Ia dan istrinya Bernetje akhirnya memperoleh kewarganegaraan Belanda. Istrinya meninggal pada 26 Oktober 1973.  Pdt. Kansil sendiri berumur panjang, ia meninggal pada 18 Juli 2000 Wageningen di usia 86 tahun. Ia dimakamkan di samping istrinya, Bernetje.(*)


No comments :

Post a Comment